saya datang menjemput ke sekolah dan langsung membawa saya beserta
abang dan adik-adik ke Jakarta. Sampai di rumah kakek, lautan manusia
menyesaki halaman rumah hingga ke dalam. Bendera kuning terpasang di
depan rumah, kakek menghadap Allah hari itu.
Ibu, dan semua anak-anak kakek menangis. Namun nampak terlihat jelas
seulas senyum manis dan wajah bersih berseri seolah tampak cahaya
yang memancar dari wajah sosok yang ditangisi ratusan orang yang
datang hari itu. Tidak ketinggalan anak-anak yatim yang selama ini
mendapat santunan dari kakek pun meneteskan air matanya. Bagi mereka
kakek adalah Ayah yang selama ini menggantikan peran Ayah mereka yang
sejak lama meninggalkan mereka.
Kenangan dua puluh dua tahun yang lalu itu masih sangat jelas terekam
di ingatan saya. Betapa saya yang saat itu juga ikut menangis, meski
mungkin saya hanya merasa kehilangan seseorang yang takkan lagi
mengajak saya makan roti tawar di minggu pagi, atau membelah-belah
tahu cina kesukaan kakek dan kemudian ia menyuapi cucunya satu
persatu, memandangi senyumnya dengan binar bahagia. Masih jelas
hingga detik ini senyum indah kakek, bahkan teramat detil hingga
seandainya saya mampu melukis mungkin saya akan melukiskannya dengan
sangat baik.
Tahun 1992, kakek saya dari Ayah meninggal dunia. Ia adalah tokoh
masyarakat yang sangat disegani, ia sangat ramah dan akrab dengan
warga, dan seperti namanya, Abdul Karim, ia dianggap sebagai bapak
yang mulia bagi sebagian warga. Benar, karena hampir seluruh warga
mengenalnya sebagai orang baik, dermawan. Hingga kini, peninggalannya
berupa wakaf tanah untuk masjid masih menjadi ingatan yang jelas akan
amal baiknya. Masjidnya pun diberi nama masjid Al Karim. Seperti juga
kakek saya sebelumnya, ia menutup matanya dengan indahnya senyuman.
Dari nasihat yang pernah saya dengar, Allah kerap menunjukkan
kekuasaan-Nya kepada makhluk yang masih hidup melalui orang-orang
yang meninggal. Apakah kebaikan yang diperlihatkan ataukah sisa-sisa
perbuatan buruk seseorang yang nampak pada saat sakaratul maut dan
sesudahnya. Seperti cerita Al Qomah yang sulit meninggal karena
perlakuannya terhadap ibunya, mungkin akan jadi pelajaran bagi orang-
orang yang melihatnya. Dan senyuman yang menghiasi orang-orang yang
meninggal, juga merupakan kekuasaan Allah yang hendak memperlihatkan
akhir dari orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya dengan amal
shalih.
Sungguh, saat ini saya sering menangis jika menghitung-hitung betapa
miskinnya diri ini akan amal shalih. Selaut air mata siap tumpah
tatkala mengingat segunung khilaf dan dosa yang kerap tercipta bahkan
hingga detik ini. Jika demikian, adakah kemungkinan diri ini
mengakhiri perjalanan ini dengan senyuman? Mungkinkah saya menutup
mata dengan indah? Adakah orang-orang kan membincangkan kebaikan atau
keburukan saya sepeninggal saya?
Ya Allah, izinkan hamba menutup mata dengan senyuman.