Nias dulunya dikenal dengan burung beo atau magiao yang dapat meniru suara yang ada di sekitarnya, bahkan suara manusia. Karena kepandaiannya meniru berbagai suara tersebut, burung beo menjadi incaran dan mempunyai nilai jual tinggi di Pulau Nias maupun di luar Nias. Kini, perlahan tötöhua atau murai batu (Copsychus malabaricus) nias mendapat tempat di hati para pencinta burung.
Kini populasi burung beo di kepulauan Nias sudah hampir punah dan langka. Sampai-sampai Pemerintah Indonesia memasukkan burung beo sebagai satwa yang dilindungi. Hanya sayang, hal ini tidak diikuti oleh perhatian serius pemerintah setempat. Kita tahu, peraturan daerah untuk burung beo ini tak pernah diterbitkan. Proyek penangkaran juga hingga kini tidak jelas hasilnya.
Seiring kelangkaan burung beo di Pulau Nias, burung murai batu nias menjadi primadona di hati para pencinta burung di Kepulauan Nias.
Jika tidak dilestariakan, niscaya dalam waktu dekat Murray Batu Nias akan sulit ditemukan dan menjadi langka. Selama memelihara murai batu, Osiduhugö mengatakan, dari pengamatannya, murai batu nias mempunyai kelebihan daripada murai batu dari daerah lain. “Murai batu nias memiliki kepandaian dan IQ lebih tinggi, yang dibuktikan dengan daya tangkap dalam meniru suara di sekitarnya yang lebih cepat daripada murai batu dari daerah lain,” ujarnya.
Selain memiliki daya tangkap dan IQ yang lebih tinggi, murai batu juga memiliki mental yang lebih kuat. Hal itu bisa terlihat jika dibawa ke mana saja dan sering dipindahkan dari kandang yang satu dengan kandang lainnya, murai batu nias tidak cepat stres.
Ciri khas dari murai batu yang berasal dari Nias, tutur Osiduhugö Daely kepada NBC, adalah pada ekornya. “Seluruh ekor murai batu nias berwarna hitam polos, sedangkan ekor pada murai dari daerah lain, terdapat beberapa helai ekor pada bagian bawah yang bewarna putih,” ujarnya.